Kata Pengantar
ACCESS
Menemukan ruh pembangunan yang memberdayakan tidaklah mudah. Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 telah memilih sistem desentralisasi. Otonomi daerah menjadi konsep operasionalnya. Bukan tidak berhasil, tapi penyelenggaraan otonomi daerah ternyata belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi lapisan masyarakat terbawah yang hidup di desa. Bahkan gini rasio1 terus meningkat sudah di atas 0,41 yang menandakan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Otonomi daerah cenderung jamak menyediakan karpet merah bagi kelompok usaha untuk mengelola sumber daya alam daerah. Tidaklah mengherankan bahwa di era otonomi daerah lengket dengan paradigma market driven development dan desa masih terpinggirkan.
Mimpi menjadi daerah kaya dengan cara menyerahkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam kepada pasar ternyata benar-benar melenakan banyak kepala daerah. Alih-alih desa menjadi arena untuk melakukan aksi pengerukan kekayaan negara. Di daerah yang kaya sumberdaya mineral pun masih banyak desa yang miskin dan tertinggal. Wilayah yang kaya mineral dan tambang dirambah sedemikian rupa, hingga akhirnya hanya menyisakan ceruk-ceruk yang tak lagi produktif. Pembabatan hutan pun masih terus berlangsung, hingga bumi nusantara kehilangan fungsi sebagai paru-paru sekaligus penyimpan air tanah. Praktik kebijakan di era otonomi daerah menyebabkan desa banyak kehilangan sumber kakayaan hayati, kekayaan mineral, dan sumber penghidupan semakin minim. Otonomi daerah juga terlalu fokus pada membangun kawasan perkotaan yang menjanjikan revenue bagi pemerintah, sehingga desa hanya diberi sisanya sisa (Sutoro, 2012).
Dalam kontek pemberdayaan, strategi membangun desa yang menempatkan desa sebagai obyek bak sebuah serangan bertubi-tubi selama lebih dari empat puluh tahun terakhir. Pada masa orde baru, jelas-jelas pemerintah ingin mengatur dan mengawasi desa untuk kepanjangan kekuasaan. UU No. 5/1979 sebagai senjata efektif untuk mematikan desa. Pada era reformasi ternyata belum banyak berubah. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 berupaya memberi ruang bagi desa, tetapi ada program pemberdayaan nasional yang mematikan implementasi UU tersebut untuk desa. Daerah pun masih setengah hati memberikan hak-hak desa dan hanya menempatkan desa sebagai sasaran pembangunan. Dengan dalih membantu masyarakat miskin, baik pusat maupun daerah menerapkan program pemberdayaan dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM). Alih-alih masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera, yang didapatkan justru ketergantungan yang semakin tinggi.
Performa pelaksanaan proyek-proyek tersebut justru mengimposisi peran pemegang otoritas desa dan partisipasi masyarakat. Di luar dugaan program-program tersebut menyebabkan modal sosial masyarakat tidak terbangun baik. Uang berubah menjadi motivator utama bergairahnya partisipasi (money driven development). Partisipasi yang tinggi dalam penyelenggaraan program-program tersebut bukan berarti mampu melahirkan program/kegiatan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, melainkan karena dimobolisasi oleh petunjuk teknis proyek. Di tengah situasi tingginya ketergantungan masyarakat kepada program/proyek supradesa dan pihak luar, pada 2008 ACCESS Tahap II memulai program pemberdayaan di 20 kabupaten di wilayah tertinggal di Indonesia Timur, di Provinsi Sulsel, Sultra, NTB, dan NTT. Program dukungan DFAT (dahulu AusAID) tersebut salah satunya untuk membangun nilai tata kepemerintahan lokal yang demokratis (TKLD) di lingkungan masyarakat bawah. ACCESS Tahap II menerapkan pendekatan Strength-Based Approach (SBA) dalam mendorong desa dan warganya mewujudkan cita-cita membangun desa dengan kekuatannya. Core statement program ACCESS Tahap II adalah “Warga dan organisasinya berdaya dan aktif berinteraksi dengan pemerintahan daerah untuk pembangunan yang lebih efektif”.
Kehadiran buku bertajuk Desa Membangun Indonesia yang ditulis oleh kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) menawarkan cara pandang baru dalam narasi pembangunan. Konsep Village Driven Development (VDD) sebagai rumusan kunci dari buku ini hendak mewartakan kepada seluruh pembacanya bahwa strategi pembangunan state driven development, market driven development atau community driven development tidak relevan diterapkan untuk membangun desa. Buku ini kemudian menawarkan VDD sebagai pengganti alternatifnya. Jika boleh dikerucutkan, rumusan VDD barangkali bermuara pada apa yang disebut Ahmad Muqowam2 di depan Rapat Paripurna DPR RI untuk pembahasan RUU Desa 18 Desember 2013 lalu dengan “catur sakti”. Dikaitkan dengan wacana pembangunan desa, maka catur sakti dapat disintesakan bahwa membangun sebaiknya mampu menciptakan desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.
Adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami, di mana karya pemberdayaan yang digelar ACCESS Tahap II di wilayah Indonesia Timur menjadi bagian dari menu dan substansi pembahasan buku. Bahkan di beberapa bagian, buah dari kerja-kerja pemberdayaan dari program ACCESS Tahap II diposisikan sebagai evidence penguat konsepsi VDD itu sendiri. Padahal ACCESS sendiri, sejak awal pelaksanaan program, tidak pernah membuat skenario pemberdayaan dan pembangunan desa dari perspektif VDD. ACCESS Tahap II hanya concern pada upaya mendorong dan memperkuat warga desa dan organisasi warga yang berdaya sehingga mampu berinteraksi aktif dalam proses politik kebijakan baik di level desa, daerah, maupun di lingkup nasional. Kami mengapresiasi FPPD yang telah mampu mengangkat mutiara-mutiara perubahan buah karya pemberdayaan program ACCESS ke panggung politik kebijakan nasional. Lagi, adalah kebahagiaan bagi kami, mutiara-mutiara perubahan tersebut kemudian mampu mendorong lahirnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Kiranya, kami juga patut berbesar hati bahwa performa paradigmatik yang lebih progresif dari UU Desa, tidak bisa dilepaskan dari kemampuan FPPD membranding mutiara-mutiara perubahan dari program ACCESS dalam kegiatan advokasi RUU Desa sebelumnya.
Kami menyadari bahwa kelahiran UU Desa secara tidak langsung menyematkan pekerjaan rumah bagi kita semua, khususnya para pegiat dan pejuang desa. Pekerjaan rumah tersebut tidak lain adalah membuat UU Desa organik. Namun, bagaimanapun juga, ACCESS Tahap II adalah program yang tidak bersifat abadi sehingga paska kelahiran UU Desa, tidak bisa turut serta dalam upaya meng-organik-an UU Desa tersebut. Semoga kehadiran buku ini dapat mewakili ACCESS dan kawan-kawan mitra di daerah dalam upaya-upaya mengkontekstualisasikan ruh dan tujuan pembangunan desa sebagaimana diharapkan UU Desa tersebut. Sekali lagi kami berterima kasih kepada penulis berikut para kontributor buku. Tak terkecuali juga kepada FPPD yang telah mengapresiasi karya pemberdayaan ACCESS menjadi buku yang kami percaya akan menghidupkan visi besar UU Desa membangun desa menuju desa yang mandiri, sejahtera dan demokratis.
Download buku : DISINI
Paul Boon
Program Director ACCESS Tahap II