Terbang adalah salah satu alat musik tradisional yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Pemalang, khususnya di desa Pegiringan. Terbang terbuat dari kayu yang dibuat bulat dengan jenis yang berbeda. Bentuk yang pertama menyerupai bedug dengan ukuran kecil, yang kedua berbentuk terbang datar pada badan terbang ada tiga pasang logam kuningan yang oleh masyarakat Pegiringan disebut kecrek atau genjring atau kencer, sehingga jika terbang tersebut dibunyikan, tidak hanya mengeluarkan suara yang berasal dari kulit, tetapi juga suara gembrinjing (gemerincing). Oleh karena itu, terbang tersebut dinamakan sebagai terbang terbang genjring. Bentuk terbang yang ketiga adalah terbang jidur dengan ukuran lebih besar dari pada terbang genjring namun tidak di beri lempengan tembaga, ukuran terbangnya lebih lebar. Alat-alat terbang genjring (kenceran) dibuat secara tradisional dari kayu Sawo, Kumis, sekalipun dibuat secara tradional namun kualitas terbang genjring dan suaranya tidak kalah dengan kualitas terbang modern.
Di Desa Pegiringan, kesenian terbang Jawa lebih dikenal dengan terbang giring atau genjringan. Kesenian genjringan Pegiringan ini masih terus dilestarikan turun temurun sampai saat ini. Tercatat sampai sekarang masih banyak kelompok masyarakat yang rutin melaksanakan kegiatan latihan ataupun menggunakan terbang genjring ini untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
Kenapa dikatakan terbang giring/ genjringan ? Dikatakan terbang giring ini karena terbang genjring ini biasa dipakai pada saat acara pengiringan pengantin. Sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Pegiringan, apabila keluarga atau saudara yang melangsungkan pernikahan maka kedua mempelai akan diarak keliling diiringi terbang genjring. Selain untuk prosesi pengiringan pengantin, terbang genjring juga biasa dipakai pada saat acara angkat rangka atap rumah (unjuk molo), biasanya malam harinya masyarakat pegiringan mengundang terbang genjring semalam suntuk istilah dalam bahasa pegiringannya “lek-lekan unjuk molo”.
Terbang genjring ini mempunyai keunikan tersendiri, mulai dari ritme tabuhan sampai lagu-lagu pengiringnya. Terbang genjring bisa dimainkan minimal 4-6 orang dengan tugas yang berbeda-beda. Lagu pengiring terbang genjring berupa lantunan sholawat namun dibawakan dengan lagu versi jawa kuno, tidak seperti lantunan sholawat modern sekarang ini. Ritme tabuhanpun sangat berbeda dengan versi tabuhan terbang modern, ritme lagu terbang genjring lebih sulit jika dibandingkan dengan ritme lagu tabuhan terbang modern. Karena tingkat kesulitan yang tinggi itulah, tidak semua penabuh terbang bisa melakukan tabuhan terbang genjring. Pada umumnya penabuh terbang genjring telah berusia lanjut yang memang sudah mahir sejak mudanya.
Ada beberapa tokoh yang melegenda di Pegiringan karena kelihaiannya bermain terbang genjring, seperti alm. Mbah Siwut, Mbah Kenan, Mbah Siwan, ketiga tokoh tersebut merupakan sosok yang khas dan identik dengan terbang genjring, sehingga banyak masyarakat Pegiringan yang menyebut terbang genjring dengan sebutan terbang mbah Siwut. Setelah tokoh-tokoh sepuh terbang genjring tersebut tiada, turun ke generasi berikutnya ada Mbah Wahubi mantan perangkat desa Pegiringan, Ust. Yatin dan sosok muda Ust. As’ad. Sampai dengan sekarang Ust. Yatin dan Ust. As’ad terus melestarikan kegiatan terbang genjring di Pegiringan. Mereka mempunyai kelompok yang berbeda-beda di wilayahnya masing-masing. Kelompok terbang genjring dibawah asuhan Ust. As’ad adalah satu-satunya kelompok terbang genjring di Pegiringan yang anggotanya terbilang masih berusia muda.
Sebagai putra asli Pegiringan sepatutnyalah kita bersyukur, di tengah jaman seperti sekarang, masih ada orang yang mau eksis melestarikan terbang genjring sebagai kearifan budaya lokal asli Pegiringan. Semoga kedepannya banyak lagi mbah Siwut, Mbah Kenan, Mbah Siwan yang bermunculan nguri-nguri budaya lokal Pegiringan, dan semoga Alloh SWT. Senantisa melapangkan jalan beliau-beliau pahlawan terbang genjring Pegiringan. (admin)